I follow you like a shadow. Although
you never see me, I’ll always follow you like your shadow. Until you can love and
leave me..
Aku
menganggap dia seperti tuanku. Lelaki
jangkung berhidung mancung. Aku selalu mengekor kemanapun dia pergi. Kadang aku
merasa aku seperti bayangannya saja. Selalu mengikutinya. Terlihat hanya ketika
ada terang. Dan lenyap ketika gelap tiba. Tapi aku tidak seperti itu. Aku ikuti
kemanapun dia pergi. Ada atau tak ada terang, aku selalu berjalan di
belakangnya. Mengikutinya. Melindunginya. Meskipun terabaikan. Meskipun
terlupakan. Aku hanya sosok yang terdiri dari 3 vokal dan 5 konsonan ;
bayangan. Aku menyebut diriku seperti itu walau kenyatannya aku ini manusia berakal
seperti kalian. Diam-diam aku mengaguminya. Sebuah bayangan mengagumi tuannya,
apa bisa?
Kau
sebut aku sebagai benalu : merugikan. Katamu, aku hanya seorang parasit yang
hinggap untuk mengambil keuntungan tuannya. Tapi, selama ini, apa yang
kuperoleh selain rasa membelenggu karena menunggumu? Aku menyangkal.
Menyalahkan semua tuduhan. Aku bukan parasit, sangkalku. O iya kau bukan
parasit. kau kan budak ku. Kau kan dayang dayangku hahahaha. Kau terbahak. Aku lebih
terbahak. Menertawakan diriku sendiri.
Aku
tak pernah kapok untuk mengaguminya. Rasa itu tak pernah lenyap. Aku mulai
mencandunya. Setiap hari aku merindunya. Selalu berdiam menunggunya. Dan yang
aku lakukan hanya mengikutinya. Ia ke kanan, aku ke kanan. Ia ke kiri, aku ke
kiri. Ia salah, aku selalu membenarkan. Aku benar, tapi selalu disalahkan.
Fikiranku hanya berkutat pada Oliver,Oliver,dan Oliver. Aku tak pernah
memikirkan diriku sendiri: Diandra, Diandra,
Diandra. Aku bahkan lupa nama itu. Yang bersarang di otakku hanyalah
Darren Oliver. Bukan diriku sendiri. Diandra Tanna. Yang membayang-bayangiku
untuk menjadi bayangannya hanyalah Oliver. Darren Oliver. Aku terlalu fasih
untuk merapal nama itu. Aku terlalu ingat diluar kepala sampai nama itu memuntah
acak beranak pinak menjadi titik-titik hitam yang bermukim di saraf-saraf otakku.
Aku tak pernah bisa menjelaskan mengapa aku selalu menunggunya. Alasan mengapa
aku selalu mengikutinya. Karna mengapa tak bisa dijelaskan secara pasti. Tak
menghasilkan apa-apa untuk menjelaskan mengapa. Selalu tak bisa beralasan. Aku
juga tak tau kenapa.
*
Perasaanku
hampir bertepuk sebelah tangan kalau saja aku tak terang-terangan
mengutarakannya pada Oliver. Saat itu senja
mulai bersahut-sahutan dengan gelap. Ketika aku dan Oliver tengah
berjalan-jalan sambil berburu ice cream di taman bermain yang penuh dengan
anak-anak. Senja terlihat sempurna sore itu. Lembayungnya seperti memayungi aku
dan Oliver yang berjalan memutari taman. Melihat riuhnya sekeliling.
“Oliver?”
“Ya,Diandra?”
“Bagaimana
perasaanmu saat ini?”
“Seperti
perasaanmu. Baik”
“Aku
suka padamu. Menurutmu… bagimana?” Aku menendang nendang kerikil di hadapanku.
Semacam perasaan gugup tiba-tiba menyergap dan berkemul di tubuhku begitu saja.
“Itu
bagus. Karna aku juga suka padamu.” Ia menatap lurus ke depan. Membiarkan ice
creamnya mencair dan menetes mengenai ujung kemejanya dan mendarat dengan
sempurna di tanah.
“Sungguh?”
aku menengok dan melihat ujung matanya. Ia hanya melirikku dengan bola mata
yang tersimpul diujung. Tanpa menengok kearahku.“Menurutmu?”
Aku
meleleh. Seperti ice cream yang ada di genggamanku saat ini. Rasa manisnya
melumer. Meninggalkan sedikit noda berwarna pink kecoklatan di rok putih
selututku. Seketika aku merasa bahagiaa sekali. Seperti diterbangkan
tinggi-tinggi ke langit yang kini sudah sepenuhnya hitam dengan awan mendung
yang bergulung-gulung.
“Ayo
pulang.” Oliver menggandeng lenganku. Masih tanpa menatapku. Teriakan anak-anak
melengking ke langit lepas. dan kaki-kaki kami melangkah menjauhi taman.
Meninggalkan jejak yang mulai tersapu titik titik air hujan.
*
Setiap
malam sebelum terlelap, aku selalu memikirkan Oliver. Membayangkan wajahnya di
gelap pejaman mata. Tak terlalu rumit untuk menghadirkan sosok itu dalam
imajinasiku. Aku terseret pada lamunanku sendiri. Oliver itu makhluk yang indah.
Seperti gugus bintang orion favoritku. Tapi aku bisa kapan saja membayangkan
Oliver. Dimana saja. Bahkan ketika bersamanya pun aku bisa menghadirkan sosok
khayalnya dalam khayalanku.
“Kau
harus menata hatimu, Diandra. Pilah dan pilih mana yang baik untukmu. Buang rasa
yang merugikanmu.” Ujar Karla, sahabatku yang super sok tahu. Membuyarkan
lamunanku siang ini.
“kau
ini tau apa tentang hatiku?” Aku mendelik.
“Aku
tahu selama ini kau sangat memuja Oliver”
“Kalau
iya memang kenapa? Ada yang salah?”
“Jelas
salah!”
“Dimana
letak kesalahanku, hah?”
“Disitu.”
Karla menunjuk dadaku. Perempuan itu menyentak hatiku. “kau terlalu membiarkan
hatimu menahan rasa yang tak berguna. Kau terus membiarkan hatimu berlarut pada
penantian tak berujung. Kau mau hatimu mati rasa karna terlalu berat menahan
sesak? Kau rela membiarkan hatimu membusuk karna menampung rasa untuk Oliver?”
“Penantianku
pasti berujung bahagia,kau tau, tindakanku selama ini tak akan pernah sia-sia.
Oliver bilang ia juga menyukaiku.”
“Lelaki
itu hanya membual.”
“O
ya? Apa maumu mengurusi urusanku, nona sok tau! ”
“Sederhana
saja. Cukup jauhi Oliver.”
“Untuk
apa?”
“Untuk
kebaikanmu.”
“Tak
akan pernah! Aku akan baik-baik saja kalau Oliver juga baik-baik saja”
“Baik-baik
saja? Apa maksudnya baik-baik saja? Pernah ga sih Oliver memikirkan
perasaanmu?” Karla membentak. Aku diam memilih hemat bicara.
“Tapi
dia tak pernah. Dia itu lelaki tak tau diuntung!” Lanjut karla dengan alis yang saling bertaut.Aku
marah. Berani sekali dia menghina Oliver di depanku. Aku balik kanan bubar
jalan. Memunggungi Karla dan bersiap untuk pergi.
“Hey
nona keras kepala! Sesekali, pergilah bercermin, untuk melihat betapa
menyedihkannya dirimu!” Suaranya menggema menelusuri lorong-lorong kelas yang
tak begitu kosong.
Aku
berlalu tanpa pandang haluan. Berlari sekencang-kencangnya. Terengah-engah
menderap kaki bersentuh lantai. Aku mencari Oliver dan menemukannya. Ia duduk
dengan mata memicing kearah depan. Aku mengikuti tatapannya. Yang ditatap
adalah wanita berpostur langsing yang dikucir tinggi-tinggi. Aku tak peduli.
“Oliver.
Karla menghinaku. Ia bilang aku gadis menyedihkan.” Nafasku masih memburu. “Ia bilang aku harus
berkaca. Dia bilang aku tak pantas untukmu”
Oliver
menengok ke arahku yang sedang berdiri di depannya karna mengahalangi penglihatannya
akan gadis berkucir tinggi. Aku senang
sekali Oliver sudi melihatku . Tak ada getaran yang lebih hebat selain ketika
sorot mata itu menatap. “Kau memang tak pantas untukku.” Bibirnya mengatup dan terkunci. Bola matanya
membulat tapi menatap kosong.
“Kenapa?
Kau kan pacarku. Kau harusnya melindungiku. Kau harus bilang pada Karla bahwa
aku bukan gadis menyedihkan”
“Untuk
apa aku bilang? Sejak kapan aku jadi pacarmu! Heh, nona, kalau berkhayal,
jangan terlalu tinggi. Karna aku tau kau pasti tak akan sampai untuk menggapai
itu semua. Hahaha. Kau memang gadis dungu menyedihkan ahahahahahaha pergi sana!
Mukamu tak pantas untuk ditatap oleh orang-orang normal dan bebobot sepertiku” teriak
Oliver.
Lututku
lemas.
*
Aku
begitu kagum ketika melihat awan-awan di atas kepalaku. Langit yang membentang
biru, burung yang berkaok-kaok, angin yang berhembus, sampai daun-daun yang jatuh ke tanah. Betapa indah segala ciptaan
tuhan, termasuk makhluk jangkung yang berjalan di depanku ini. Ia adalah salah
satu ciptaan tuhan yang nyaris sempurna.
“Sampai
kapan kamu mau mengikutiku terus?” Aku berhenti melihat Oliver berhenti.
“Sampai
kau suka padaku.” Aku berusaha menatap
kedua bola matanya yang kecoklatan diterpa cahaya matahari. Tapi ia menghindar.
Tak balas menatapku. Tak pernah malah.
“Aku
kan sudah suka padamu”
“Iya,
tapi bukan seperti itu saja, mmm, maksudku..”
“Apa?”
“hmm
tidak. maksudku, sampai orang yang kau incar juga suka padamu”
“Oke
kalau gitu, kamu cari cara dong biar Raina suka sama aku”
“Iya.
Aku usahain.” Rasanya seperti ada palu godam menghujaniku bertubi-tubi tanpa
berhenti. Dadaku tertohok dan semua rasa sakit berkumpul dalam dadaku tempat
hati dilambangkan berada disana. Aku hanya mengulas senyum tanda semua akan
baik baik saja sesuai dengan rencana. Iya, rencana membuat Raina bisa jatuh
cinta pada Oliver. Bukan seperti rencanaku-bisa membuat Oliver benar-benar suka
padaku. Kurasa itu bukan ide bagus. Tak
akan pernah jadi ide bagus.
Aku
memantas diri di cermin, melihat refleksi diriku. Pantulan itu seperti bukan
aku. Lebih seperti halimun hitam lusuh membungkus diriku. Mataku menatap
kosong. Ada hitam menggelayut dibawah mataku. Wajahku kusut. Rambutku semrawut.
Badanku kurus kering tanpa banyak daging. Seperti bukan aku. Karena nyatanya
aku baik baik saja. Aku selalu ceria. Aku cantik,kulitku mulus,rambutku bagus.
Aku selalu baik-baik saja selama berjalan berdampingan dengan Oliver. Maksudku,
berjalan di belakang Oliver. Cermin itu menipu. Yang disana itu bukan aku.
Tapi…cerminan hatiku. Bukan topeng yang kupakai sehari-hari untuk menutupi
lelah laraku menanti Oliver.
Aku
ini bodoh atau apa? Kenapa aku mau-maunya saja dibuat menunggu seperti ini?
Kenapa dia berani sekali membuatku menunggu? Selama ini aku hanya tau dia juga
suka padaku lewat kedua telingaku. Kata itu hanya keluar dari mulutnya saja.
Tapi entah hatinya.. dia terlalu pintar karna sudah memperalatku. Atau, aku
yang terlalu tolol karna sudah diperalat olehnya?
Aku
terduduk menyandarkan punggungku di dinding kamar. Di luar tiba-tiba hujan.
Langit mendadak kelabu. Betapa bodohnya aku selama ini. Betapa aku selalu
menunggu orang yang terang sekali mengabaikanku. Tak inginkan keberadaanku.
Mulai detik ini, aku berhenti menjadi pemuja nomor satu Darren Oliver. Aku
ingin hidupku kembali seperti dulu.
*
Aku
pergi dan berlalu. Benar-benar pergi. Berjalan sendirian sebagai diriku. Dengan
bayanganku sendiri. Bukan sebagai bayangan Oliver. Hatiku benar-benar mati
rasa. Kini dunia mulai berbalik. Oliver yang berusaha menjadi bayanganku. Ia mengejar
kemanapun aku berlari. Ia selalu berusaha menyejajari langkahnya dengan
langkahku. Tapi aku pastikan, ia tak mungkin bisa. Ia tak mungkin bisa
membalikkan kenyataan segampang itu. Aku tak mau dunia kembali seperti semula
saat aku yang selalu mengekor kemanapun Oliver pergi. Aku tak akan berbalik dan
mengejarnya lagi. Aku tak mau menjadi bayangannya lagi. Biar dia saja yang
merasakan tak enaknya jadi aku. Bodohnya jadi aku. Biar dia rasakan rasanya
terabaikan.
***
Tahun-tahun
berlalu dan hidupku terasa lebih bebas tanpa bergantung dengan Oliver. Aku
senang bisa melepas jabatanku sebagai bayangan Darren Oliver—Haha. Betapa tololnya aku saat itu!
Suatu
hari di minggu pagi. Aku melihat sosok jangkung berhidung mancung tengah
berdiri di sebrang jalan. Oliver. Darren Oliver.Seorang wanita menghampirinya.
Tersenyum untuknya. Tangan mereka bertaut. Saling mengamit jari dengan cincin
melingkar di kelingking. Wanita itu si kucir tinggi. Aku ingat siapa namanya.
Raina Anjani. Yang mungkin kelak akan jadi nyonya Oliver.
Aku
berbalik dan kembali. Pulang. Tidak. Aku pergi. Selamat, tuan. Kau sudah
dapatkan apa yang kau inginkan.
0 komentar:
Posting Komentar