Sabtu, 03 Agustus 2013

Taut Bayang

Diposting oleh dita amalia di 23.13


I follow you like a shadow. Although you never see me, I’ll always follow you like your shadow. Until you can love and leave me..



     Aku menganggap dia seperti tuanku.  Lelaki jangkung berhidung mancung. Aku selalu mengekor kemanapun dia pergi. Kadang aku merasa aku seperti bayangannya saja. Selalu mengikutinya. Terlihat hanya ketika ada terang. Dan lenyap ketika gelap tiba. Tapi aku tidak seperti itu. Aku ikuti kemanapun dia pergi. Ada atau tak ada terang, aku selalu berjalan di belakangnya. Mengikutinya. Melindunginya. Meskipun terabaikan. Meskipun terlupakan. Aku hanya sosok yang terdiri dari 3 vokal dan 5 konsonan ; bayangan. Aku menyebut diriku seperti itu walau kenyatannya aku ini manusia berakal seperti kalian. Diam-diam aku mengaguminya. Sebuah bayangan mengagumi tuannya, apa bisa?

     Kau sebut aku sebagai benalu : merugikan. Katamu, aku hanya seorang parasit yang hinggap untuk mengambil keuntungan tuannya. Tapi, selama ini, apa yang kuperoleh selain rasa membelenggu karena menunggumu? Aku menyangkal. Menyalahkan semua tuduhan. Aku bukan parasit, sangkalku. O iya kau bukan parasit. kau kan budak ku. Kau kan dayang dayangku hahahaha. Kau terbahak. Aku lebih terbahak. Menertawakan diriku sendiri.

     Aku tak pernah kapok untuk mengaguminya. Rasa itu tak pernah lenyap. Aku mulai mencandunya. Setiap hari aku merindunya. Selalu berdiam menunggunya. Dan yang aku lakukan hanya mengikutinya. Ia ke kanan, aku ke kanan. Ia ke kiri, aku ke kiri. Ia salah, aku selalu membenarkan. Aku benar, tapi selalu disalahkan. Fikiranku hanya berkutat pada Oliver,Oliver,dan Oliver. Aku tak pernah memikirkan diriku sendiri: Diandra, Diandra,  Diandra. Aku bahkan lupa nama itu. Yang bersarang di otakku hanyalah Darren Oliver. Bukan diriku sendiri. Diandra Tanna. Yang membayang-bayangiku untuk menjadi bayangannya hanyalah Oliver. Darren Oliver. Aku terlalu fasih untuk merapal nama itu. Aku terlalu ingat diluar kepala sampai nama itu memuntah acak beranak pinak menjadi titik-titik hitam yang bermukim di saraf-saraf otakku. Aku tak pernah bisa menjelaskan mengapa aku selalu menunggunya. Alasan mengapa aku selalu mengikutinya. Karna mengapa tak bisa dijelaskan secara pasti. Tak menghasilkan apa-apa untuk menjelaskan mengapa. Selalu tak bisa beralasan. Aku juga tak tau kenapa.

*
         
     Perasaanku hampir bertepuk sebelah tangan kalau saja aku tak terang-terangan mengutarakannya  pada Oliver. Saat itu senja mulai bersahut-sahutan dengan gelap. Ketika aku dan Oliver tengah berjalan-jalan sambil berburu ice cream di taman bermain yang penuh dengan anak-anak. Senja terlihat sempurna sore itu. Lembayungnya seperti memayungi aku dan Oliver yang berjalan memutari taman. Melihat riuhnya sekeliling.

     “Oliver?”

     “Ya,Diandra?”

     “Bagaimana perasaanmu saat ini?”

     “Seperti perasaanmu. Baik”

     “Aku suka padamu. Menurutmu… bagimana?” Aku menendang nendang kerikil di hadapanku. Semacam perasaan gugup tiba-tiba menyergap dan berkemul di tubuhku begitu saja.

     “Itu bagus. Karna aku juga suka padamu.” Ia menatap lurus ke depan. Membiarkan ice creamnya mencair dan menetes mengenai ujung kemejanya dan mendarat dengan sempurna di tanah.

     “Sungguh?” aku menengok dan melihat ujung matanya. Ia hanya melirikku dengan bola mata yang tersimpul diujung. Tanpa menengok kearahku.“Menurutmu?”
Aku meleleh. Seperti ice cream yang ada di genggamanku saat ini. Rasa manisnya melumer. Meninggalkan sedikit noda berwarna pink kecoklatan di rok putih selututku. Seketika aku merasa bahagiaa sekali. Seperti diterbangkan tinggi-tinggi ke langit yang kini sudah sepenuhnya hitam dengan awan mendung yang bergulung-gulung.

     “Ayo pulang.” Oliver menggandeng lenganku. Masih tanpa menatapku. Teriakan anak-anak melengking ke langit lepas. dan kaki-kaki kami melangkah menjauhi taman. Meninggalkan jejak yang mulai tersapu titik titik air hujan.

*

     Setiap malam sebelum terlelap, aku selalu memikirkan Oliver. Membayangkan wajahnya di gelap pejaman mata. Tak terlalu rumit untuk menghadirkan sosok itu dalam imajinasiku. Aku terseret pada lamunanku sendiri. Oliver itu makhluk yang indah. Seperti gugus bintang orion favoritku. Tapi aku bisa kapan saja membayangkan Oliver. Dimana saja. Bahkan ketika bersamanya pun aku bisa menghadirkan sosok khayalnya dalam khayalanku.

     “Kau harus menata hatimu, Diandra. Pilah dan pilih mana yang baik untukmu. Buang rasa yang merugikanmu.” Ujar Karla, sahabatku yang super sok tahu. Membuyarkan lamunanku siang ini.

     “kau ini tau apa tentang hatiku?” Aku mendelik.

     “Aku tahu selama ini kau sangat memuja Oliver”

     “Kalau iya memang kenapa? Ada yang salah?”

     “Jelas salah!”

     “Dimana letak kesalahanku, hah?”
     
     “Disitu.” Karla menunjuk dadaku. Perempuan itu menyentak hatiku. “kau terlalu membiarkan hatimu menahan rasa yang tak berguna. Kau terus membiarkan hatimu berlarut pada penantian tak berujung. Kau mau hatimu mati rasa karna terlalu berat menahan sesak? Kau rela membiarkan hatimu membusuk karna menampung rasa untuk Oliver?”

     “Penantianku pasti berujung bahagia,kau tau, tindakanku selama ini tak akan pernah sia-sia. Oliver bilang ia juga menyukaiku.”

     “Lelaki itu hanya membual.”

     “O ya? Apa maumu mengurusi urusanku, nona sok tau! ”

     “Sederhana saja. Cukup jauhi Oliver.”

     “Untuk apa?”

     “Untuk kebaikanmu.”

     “Tak akan pernah! Aku akan baik-baik saja kalau Oliver juga baik-baik saja”

     “Baik-baik saja? Apa maksudnya baik-baik saja? Pernah ga sih Oliver memikirkan perasaanmu?” Karla membentak. Aku diam memilih hemat bicara.

     “Tapi dia tak pernah. Dia itu lelaki tak tau diuntung!”  Lanjut karla dengan alis yang saling bertaut.Aku marah. Berani sekali dia menghina Oliver di depanku. Aku balik kanan bubar jalan. Memunggungi Karla dan bersiap untuk pergi.

     “Hey nona keras kepala! Sesekali, pergilah bercermin, untuk melihat betapa menyedihkannya dirimu!” Suaranya menggema menelusuri lorong-lorong kelas yang tak begitu kosong.

     Aku berlalu tanpa pandang haluan. Berlari sekencang-kencangnya. Terengah-engah menderap kaki bersentuh lantai. Aku mencari Oliver dan menemukannya. Ia duduk dengan mata memicing kearah depan. Aku mengikuti tatapannya. Yang ditatap adalah wanita berpostur langsing yang dikucir tinggi-tinggi. Aku tak peduli.

     “Oliver. Karla menghinaku. Ia bilang aku gadis menyedihkan.”  Nafasku masih memburu. “Ia bilang aku harus berkaca. Dia bilang aku tak pantas untukmu”

     Oliver menengok ke arahku yang sedang berdiri di depannya karna mengahalangi penglihatannya akan gadis berkucir tinggi.  Aku senang sekali Oliver sudi melihatku . Tak ada getaran yang lebih hebat selain ketika sorot mata itu menatap. “Kau memang tak pantas untukku.”  Bibirnya mengatup dan terkunci. Bola matanya membulat tapi menatap kosong.

     “Kenapa? Kau kan pacarku. Kau harusnya melindungiku. Kau harus bilang pada Karla bahwa aku bukan gadis menyedihkan”

     “Untuk apa aku bilang? Sejak kapan aku jadi pacarmu! Heh, nona, kalau berkhayal, jangan terlalu tinggi. Karna aku tau kau pasti tak akan sampai untuk menggapai itu semua. Hahaha. Kau memang gadis dungu menyedihkan ahahahahahaha pergi sana! Mukamu tak pantas untuk ditatap oleh  orang-orang normal dan bebobot sepertiku” teriak Oliver.

     Lututku lemas.

*

     Aku begitu kagum ketika melihat awan-awan di atas kepalaku. Langit yang membentang biru, burung yang berkaok-kaok, angin yang berhembus, sampai daun-daun yang  jatuh ke tanah. Betapa indah segala ciptaan tuhan, termasuk makhluk jangkung yang berjalan di depanku ini. Ia adalah salah satu ciptaan tuhan yang nyaris sempurna.

     “Sampai kapan kamu mau mengikutiku terus?” Aku berhenti melihat Oliver berhenti.

     “Sampai kau suka padaku.”  Aku berusaha menatap kedua bola matanya yang kecoklatan diterpa cahaya matahari. Tapi ia menghindar. Tak balas menatapku. Tak pernah malah.

     “Aku kan sudah suka padamu”

     “Iya, tapi bukan seperti itu saja, mmm, maksudku..”

     “Apa?”

     “hmm tidak. maksudku, sampai orang yang kau incar juga suka padamu”

     “Oke kalau gitu, kamu cari cara dong biar Raina suka sama aku”

     “Iya. Aku usahain.” Rasanya seperti ada palu godam menghujaniku bertubi-tubi tanpa berhenti. Dadaku tertohok dan semua rasa sakit berkumpul dalam dadaku tempat hati dilambangkan berada disana. Aku hanya mengulas senyum tanda semua akan baik baik saja sesuai dengan rencana. Iya, rencana membuat Raina bisa jatuh cinta pada Oliver. Bukan seperti rencanaku-bisa membuat Oliver benar-benar suka padaku. Kurasa itu bukan ide bagus.  Tak akan pernah jadi ide bagus.

     Aku memantas diri di cermin, melihat refleksi diriku. Pantulan itu seperti bukan aku. Lebih seperti halimun hitam lusuh membungkus diriku. Mataku menatap kosong. Ada hitam menggelayut dibawah mataku. Wajahku kusut. Rambutku semrawut. Badanku kurus kering tanpa banyak daging. Seperti bukan aku. Karena nyatanya aku baik baik saja. Aku selalu ceria. Aku cantik,kulitku mulus,rambutku bagus. Aku selalu baik-baik saja selama berjalan berdampingan dengan Oliver. Maksudku, berjalan di belakang Oliver. Cermin itu menipu. Yang disana itu bukan aku. Tapi…cerminan hatiku. Bukan topeng yang kupakai sehari-hari untuk menutupi lelah laraku menanti Oliver.

     Aku ini bodoh atau apa? Kenapa aku mau-maunya saja dibuat menunggu seperti ini? Kenapa dia berani sekali membuatku menunggu? Selama ini aku hanya tau dia juga suka padaku lewat kedua telingaku. Kata itu hanya keluar dari mulutnya saja. Tapi entah hatinya.. dia terlalu pintar karna sudah memperalatku. Atau, aku yang terlalu tolol karna sudah diperalat olehnya?
Aku terduduk menyandarkan punggungku di dinding kamar. Di luar tiba-tiba hujan. Langit mendadak kelabu. Betapa bodohnya aku selama ini. Betapa aku selalu menunggu orang yang terang sekali mengabaikanku. Tak inginkan keberadaanku. Mulai detik ini, aku berhenti menjadi pemuja nomor satu Darren Oliver. Aku ingin hidupku kembali seperti dulu.
*

Aku pergi dan berlalu. Benar-benar pergi. Berjalan sendirian sebagai diriku. Dengan bayanganku sendiri. Bukan sebagai bayangan Oliver. Hatiku benar-benar mati rasa. Kini dunia mulai berbalik. Oliver yang berusaha menjadi bayanganku. Ia mengejar kemanapun aku berlari. Ia selalu berusaha menyejajari langkahnya dengan langkahku. Tapi aku pastikan, ia tak mungkin bisa. Ia tak mungkin bisa membalikkan kenyataan segampang itu. Aku tak mau dunia kembali seperti semula saat aku yang selalu mengekor kemanapun Oliver pergi. Aku tak akan berbalik dan mengejarnya lagi. Aku tak mau menjadi bayangannya lagi. Biar dia saja yang merasakan tak enaknya jadi aku. Bodohnya jadi aku. Biar dia rasakan rasanya terabaikan.

***

     Tahun-tahun berlalu dan hidupku terasa lebih bebas tanpa bergantung dengan Oliver. Aku senang bisa melepas jabatanku sebagai bayangan Darren Oliver—Haha. Betapa tololnya aku saat itu!
Suatu hari di minggu pagi. Aku melihat sosok jangkung berhidung mancung tengah berdiri di sebrang jalan. Oliver. Darren Oliver.Seorang wanita menghampirinya. Tersenyum untuknya. Tangan mereka bertaut. Saling mengamit jari dengan cincin melingkar di kelingking. Wanita itu si kucir tinggi. Aku ingat siapa namanya. Raina Anjani. Yang mungkin kelak akan jadi nyonya Oliver.


     Aku berbalik dan kembali. Pulang. Tidak. Aku pergi. Selamat, tuan. Kau sudah dapatkan apa yang kau inginkan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Chocodit Escape Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos