“Kapan terakhir kali kamu
bermimpi?” Tanya seseorang dalam sebuah perkumpulan yang kunamai ‘The Breakfast Lesson’. Karena disini, di meja sebuah kedai kopi, Kita
berlima selalu melakukan ritual sarapan di setiap hari Sabtu. Dengan Jovi selaku
ketua, yang pertama kali mencetuskan ide konyol ini.
“Semalam Aku bermimpi.” Seorang
gadis merekatkan syal merah marun rapat-rapat ke lehernya. Wanda. Perempuan dengan hidung paling bangir di
antara Aku, Jovi, Alissa dan Pram.
“Mimpi indah kah?” Seseorang itu
bertanya lagi. Jovi memang selalu ingin tahu ini-itu. Selalu ada pertanyaan
yang terlontar setiap kali kami mengobrol. Entah itu pertanyaan yang dia sudah
tahu jawabannya, maupun pertanyaan retoris, pasti Dia tanyakan. Di jidatnya mungkin sudah
tertancap pepatah malu bertanya, sesat di jalan.
Wanda mengaduk kopi di cangkirnya. “Kurasa, ya.”
“Kalau aku.. Aku mimpi dapat duit banyak.” Seru seseorang yang lain. Pram. Laki-laki yang
pada pagi hari ini memakai kaus berkerah warna biru tua. Lengkap dengan rambut
moddisay nya yang Ia sisir asal-asalan. “Kayaknya Aku bakal jadi calon
bilioner.” Cengirnya. Alissa tak bersuara. Kurasa Dia tidak tertarik dengan
topik di Sabtu pagi kali ini.
“Kalau Aku....” Aku menunduk.
Mengingat. Mengerjap-ngerjapkan mata. “Aku nggak tau. Udah lama Aku nggak
bermimpi.”
“Oh ya? Kenapa bisa?” Alissa
mulai angkat bicara. Sedangkan Pram mulai menyantap sarapannya.
“Entah. Mungkin Aku terlalu
nyenyak tidur.” Jawabku sekenanya.
“Atau kamu terlalu kenyang
menyantap kenyataan yang melelahkan?” Timpal Jovi sok puitis.
“Ya, terlalu kenyang
sampai-sampai Aku harus belajar caranya muntah.”
“Sampai-sampai kamu lupa caranya
bermimpi.”
“Hm.”
Sabtu yang berhujan. Aku benci
hujan di pagi hari. Entah kenapa Aku jadi tiba-tiba benci percakapan ini.
*
Sebenarnya, ada tanda tanya besar
di kepala ketika Aku berjalan pulang ke rumah. Kapan terakhir Aku bermimpi?
Sudah lama sekali, kurasa. Adakah yang salah pada otakku ketika Aku tertidur?
Apakah jatahku untuk bermimpi sudah tandas?
Aku ingin mencobanya. Kutarik
selimut sampai ke dada. Lalu berdoa, jagalah
Aku dalam tidur. Semoga aku mimpi indah. Ameen. Pelan ku pejamkan mata. Gelap.
Suara di sekitar sedikit mengabur. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan paginya, Aku terbangun
dengan isi kepala yang kosong. Maksudku,
Aku tak ingat apakah semalam Aku bermimpi atau tidak. Aku duduk di bibir
ranjang sejenak untuk meregangkan badan. Sambil mengingat mimpi apa yang
semalam singgah pada tidurku? 5 menit
berlalu. 10 menit. Aku benar-benar tidak ingat.
Malam berikutnya, Aku ingin
mencoba untuk bermimpi lagi. Kutenggak segelas susu hangat yang menurut salah
satu rubrik Tips Sehat di majalah berkata: Meminum segelas susu hangat bisa membuat badan
menjadi lebih rileks saat tidur. Maka, setelah susu di gelas itu habis, berbaringlah
Aku di ranjang. Bergelung ke dalam selimut dan mulai berdoa, jagalah Aku dalam tidur. Semoga Aku bisa bermimpi indah. Ameen. Kututup mata. Semesta mengabur. Yang kudengar hanya tik tok tik tok jam dan
suara cicak di dinding. Aku seperti
melayang. Kemudian hening...... Yang terekam di dalam otakku hanyalah punggung
seseorang dengan kaus berkerah. Aku tak yakin itu Pram. Tapi.. entahlah.
Tiba-tiba Aku berada di sebuah ruang hampa udara. Sesak. Seperti ada yang
mengikat paru-paruku untuk tidak bisa bernapas. Lalu aku berlari, dan mendapati
diriku berdiri di ambang jurang. Lalu
aku melompat. Hap! Jantungku berkedut. Aku
terbangun. Buru-buru Aku menuliskan
mimpi tadi pada buku jurnal mimpiku. Kutulis dengan mode tulisan cakar ayam.
Aku takut keburu lupa.
6 November...
Mimpi. Punggung seseorang. Kaus berkerah. Pram? Aku Sesak napas. Jatuh ke jurang.
Hanya itu yang bisa kuingat.
*
“Maya, bangun. Mau kuliah nggak?”
“Ah, Ibu. Ganggu aja. Memang
sekarang jam berapa?”
“7 lewat lima belas.”
9 November...
Mimpi. Punggung seseorang lagi. Aku Yakin itu Pram. Wangi bunga krisan
di beberapa tempat. Dan seseorang berucap selamat tinggal. Entah siapa.
“Pram!” Aku menemukan sosok Pram
ketika sampai di Kampus.
“Maya!”
“Aku
punya kabar gembira.”
“Aku
juga”
“Oh ya?
Kebetulan.”
Pram mengangguk. “Oke. Kamu
duluan yang cerita.” Lalu, kuceritakan semua yang terjadi. Bahwa, Aku bisa
kembali bermimpi.
“Bagus deh, kalau ternyata kamu
bisa mimpi lagi. Oh ya, Aku dapet hadiah paket liburan ke Bali selama 7 hari.” Pram berseri-seri. Raut wajahnya tak bisa
dibohongi, kalau dia sedang berbahagia.
“Oh ya? Mimpi kamu jadi bilioner
jadi kenyataan dong. Kapan berangkat?”
“Lusa.”
Sepertinya
waktu terlalu cepat berlalu sampai Pada hari ini, Pram akan berangkat untuk
berlibur ke Pulau Dewata.
“Kamu. Baik-baik ya disana.
Jangan lupa bawain oleh-oleh buatku dan buat temen-temen.”
“Hey anak muda, hati-hati di jalan.”
Wanda berteriak. “Dadaaah” Kami semua
melambaikan tangan tanda perpisahan.
Aku tersenyum. Melepas kepergian
Pram. Pram dengan kaus berkerahnya. Kali ini
warna biru keunguan. Dengan rambut yang hari ini entah kenapa disisir
rapi. Dengan wajah damai yang lebih bersahabat daripada biasanya. Pram yang
tengil, yang rambutnya selalu Dia ubah
sesuai style rambut anak remaja zaman sekarang, yang selalu pakai kaus berkerah
kemana-mana. Yang selalu pesan Capuccino untuk melengkapi sarapan di hari
Sabtu. Yang mengajakku berkenalan ketika kita masih sama-sama menjabat menjadi
Osis pada masa SMA dulu . Ah, kenangan bersama Pram dan perkumpulan ‘The
Breakfast Lesson’ tiba-tiba berlarian menari-nari di fikiranku. Kenapa harus
tiba-tiba ingat hal-hal semacam ini ketika kita sedang berpamitan dengan
seseorang? Ah, Kenapa rasanya aneh? Ketika punggung Pram menjauh, kenapa
rasanya.. ini akan jadi kali terakhir aku bisa melihat Dia?
Pram ternyata benar-benar pergi.
Dan tidak akan pernah kembali.
Kata Jovi, Apa yang terjadi saat
ini adalah takdir. Takdir bagaimana lewat mimpi, seharusnya Aku bisa tahu seseorang akan pergi.
Bus yang ditumpangi Pram menuju Bali,
amblas masuk ke jurang. Menurut berita yang kudapat, kecelakaan terjadi saat jam 2 dini hari.
Ketika serombongan mahasiswa yang menang undian untuk berlibur gratis selama 1
minggu di Bali, pada akhirnya harus berakhir dengan kejadiaan naas seperti ini.
Ternyata, tidak perlu lagi mimpi
muluk-muluk. Semua kandas pada tempatnya. Pupus pada waktunya. Lalu, buat apa
bermimpi? Kalau pada akhirnya kita tertipu oleh dunia yang jauh dari kenyataan.
Pada suatu horizon alam bawah sadar yang tak kasat mata? Untuk apa? Untuk apa
kita bermimpi? Kalau ternyata, seseorang yang seringkali kita jumpai dalam
mimpi, kenyataannya harus pergi sampai-sampai dia tak bisa lagi kembali?
Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi kepergian Pram yang
secara tiba-tiba. Mengutuk diriku yang tidak peka atas apa yang terlintas dalam
mimpiku. Mimpi yang berulang kali sama. Mimpi tentang Pram. Tentang jurang.
Tentang kematiannya. Ah.
Semilir angin sayup-sayup membawa
aroma Krisan menelusup rongga hidungku. Aroma tubuh Pram. Dia masih di sini,
kurasa.
***
0 komentar:
Posting Komentar