Minggu, 12 Oktober 2014

To Have a Dream

Diposting oleh dita amalia di 00.38



“Kapan terakhir kali kamu bermimpi?” Tanya seseorang dalam sebuah perkumpulan yang kunamai ‘The Breakfast Lesson’.  Karena disini, di meja sebuah kedai kopi, Kita berlima selalu melakukan ritual sarapan di setiap hari Sabtu. Dengan Jovi selaku ketua, yang pertama kali mencetuskan ide konyol ini.

“Semalam Aku bermimpi.” Seorang gadis merekatkan syal merah marun rapat-rapat ke lehernya. Wanda.  Perempuan dengan hidung paling bangir di antara Aku, Jovi, Alissa dan Pram.
“Mimpi indah kah?” Seseorang itu bertanya lagi. Jovi memang selalu ingin tahu ini-itu. Selalu ada pertanyaan yang terlontar setiap kali kami mengobrol. Entah itu pertanyaan yang dia sudah tahu jawabannya, maupun pertanyaan retoris, pasti  Dia tanyakan. Di jidatnya mungkin sudah tertancap pepatah malu bertanya, sesat di jalan.
Wanda mengaduk kopi di cangkirnya. “Kurasa, ya.”
“Kalau aku..  Aku mimpi dapat duit banyak.”  Seru seseorang yang lain. Pram. Laki-laki yang pada pagi hari ini memakai kaus berkerah warna biru tua. Lengkap dengan rambut moddisay nya yang Ia sisir asal-asalan. “Kayaknya Aku bakal jadi calon bilioner.” Cengirnya. Alissa tak bersuara. Kurasa Dia tidak tertarik dengan topik di Sabtu pagi kali ini.
“Kalau Aku....” Aku menunduk. Mengingat. Mengerjap-ngerjapkan mata. “Aku nggak tau. Udah lama Aku nggak bermimpi.”
“Oh ya? Kenapa bisa?” Alissa mulai angkat bicara. Sedangkan Pram mulai menyantap sarapannya.

“Entah. Mungkin Aku terlalu nyenyak tidur.” Jawabku sekenanya.
“Atau kamu terlalu kenyang menyantap kenyataan yang melelahkan?” Timpal Jovi sok puitis.
“Ya, terlalu kenyang sampai-sampai Aku harus belajar caranya muntah.”
“Sampai-sampai kamu lupa caranya bermimpi.”
“Hm.”
Sabtu yang berhujan. Aku benci hujan di pagi hari. Entah kenapa Aku jadi tiba-tiba  benci percakapan ini.


*
 
Sebenarnya, ada tanda tanya besar di kepala ketika Aku berjalan pulang ke rumah. Kapan terakhir Aku bermimpi? Sudah lama sekali, kurasa. Adakah yang salah pada otakku ketika Aku tertidur? Apakah jatahku untuk bermimpi sudah tandas?

Aku ingin mencobanya. Kutarik selimut sampai ke dada. Lalu berdoa, jagalah Aku dalam tidur. Semoga aku mimpi indah. Ameen.  Pelan ku pejamkan mata.  Gelap.  Suara di sekitar sedikit mengabur. Lalu aku tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan paginya, Aku terbangun dengan isi kepala  yang kosong. Maksudku, Aku tak ingat apakah semalam Aku bermimpi atau tidak. Aku duduk di bibir ranjang sejenak untuk meregangkan badan. Sambil mengingat mimpi apa yang semalam singgah pada tidurku?  5 menit berlalu.  10 menit.  Aku benar-benar tidak ingat.
Malam berikutnya, Aku ingin mencoba untuk bermimpi lagi. Kutenggak segelas susu hangat yang menurut salah satu rubrik Tips Sehat di majalah berkata:  Meminum segelas susu hangat bisa membuat badan menjadi lebih rileks saat tidur. Maka, setelah susu di gelas itu habis, berbaringlah Aku di ranjang. Bergelung ke dalam selimut dan mulai berdoa, jagalah Aku dalam tidur. Semoga Aku bisa bermimpi indah. Ameen.  Kututup mata. Semesta mengabur.  Yang kudengar hanya tik tok tik tok jam dan suara cicak di dinding.  Aku seperti melayang. Kemudian hening...... Yang terekam di dalam otakku hanyalah punggung seseorang dengan kaus berkerah. Aku tak yakin itu Pram. Tapi.. entahlah. Tiba-tiba Aku berada di sebuah ruang hampa udara. Sesak. Seperti ada yang mengikat paru-paruku untuk tidak bisa bernapas. Lalu aku berlari, dan mendapati diriku berdiri di ambang jurang.  Lalu aku melompat.  Hap! Jantungku berkedut. Aku terbangun.  Buru-buru Aku menuliskan mimpi tadi pada buku jurnal mimpiku. Kutulis dengan mode tulisan cakar ayam. Aku takut keburu lupa.

6 November...

Mimpi. Punggung seseorang. Kaus berkerah.  Pram?  Aku Sesak napas. Jatuh ke jurang.

Hanya itu yang bisa kuingat.
 
*

“Maya, bangun. Mau kuliah nggak?”
“Ah, Ibu. Ganggu aja. Memang sekarang jam berapa?”
“7 lewat lima belas.”
 
9 November...
Mimpi. Punggung seseorang lagi. Aku Yakin itu Pram. Wangi bunga krisan di beberapa tempat. Dan seseorang berucap selamat tinggal. Entah siapa.                
“Pram!” Aku menemukan sosok Pram ketika sampai di Kampus.
       
“Maya!”
         
“Aku punya kabar gembira.”
         
“Aku juga”
         
“Oh ya? Kebetulan.”
Pram mengangguk. “Oke. Kamu duluan yang cerita.” Lalu, kuceritakan semua yang terjadi. Bahwa, Aku bisa kembali bermimpi.
“Bagus deh, kalau ternyata kamu bisa mimpi lagi. Oh ya, Aku dapet hadiah paket liburan ke Bali selama 7 hari.”  Pram berseri-seri. Raut wajahnya tak bisa dibohongi, kalau dia sedang berbahagia.
“Oh ya? Mimpi kamu jadi bilioner jadi kenyataan dong.  Kapan berangkat?”
“Lusa.”
Sepertinya waktu terlalu cepat berlalu sampai Pada hari ini, Pram akan berangkat untuk berlibur ke Pulau Dewata.
“Kamu. Baik-baik ya disana. Jangan lupa bawain oleh-oleh buatku dan buat temen-temen.”

“Siap non! Kamu juga.  Baik-baik disini.  Jangan bolos kuliah terus.”  Pram menepuk bahuku lembut.  Aku Cuma nyengir. “Dadah Maya. Dadah semuanya.  Aku pergi.” Pram berbalik. Memunggungi Kami semua. Berjalan menaiki Busnya.
 
“Hey anak muda, hati-hati di jalan.” Wanda  berteriak. “Dadaaah” Kami semua melambaikan tangan tanda perpisahan.
Aku tersenyum. Melepas kepergian Pram. Pram dengan kaus berkerahnya. Kali ini  warna biru keunguan. Dengan rambut yang hari ini entah kenapa disisir rapi. Dengan wajah damai yang lebih bersahabat daripada biasanya. Pram yang tengil,  yang rambutnya selalu Dia ubah sesuai style rambut anak remaja zaman sekarang, yang selalu pakai kaus berkerah kemana-mana. Yang selalu pesan Capuccino untuk melengkapi sarapan di hari Sabtu. Yang mengajakku berkenalan ketika kita masih sama-sama menjabat menjadi Osis pada masa SMA dulu . Ah, kenangan bersama Pram dan perkumpulan ‘The Breakfast Lesson’ tiba-tiba berlarian menari-nari di fikiranku. Kenapa harus tiba-tiba ingat hal-hal semacam ini ketika kita sedang berpamitan dengan seseorang? Ah, Kenapa rasanya aneh? Ketika punggung Pram menjauh, kenapa rasanya.. ini akan jadi kali terakhir aku bisa melihat Dia?
 
Pram ternyata benar-benar pergi. Dan tidak akan pernah kembali.
Kata Jovi, Apa yang terjadi saat ini adalah takdir. Takdir bagaimana lewat mimpi,  seharusnya Aku bisa tahu seseorang akan pergi.
Bus yang ditumpangi Pram menuju Bali, amblas masuk ke jurang. Menurut berita yang kudapat,  kecelakaan terjadi saat jam 2 dini hari. Ketika serombongan mahasiswa yang menang undian untuk berlibur gratis selama 1 minggu di Bali, pada akhirnya harus berakhir dengan kejadiaan naas seperti ini.
Ternyata, tidak perlu lagi mimpi muluk-muluk. Semua kandas pada tempatnya. Pupus pada waktunya. Lalu, buat apa bermimpi? Kalau pada akhirnya kita tertipu oleh dunia yang jauh dari kenyataan. Pada suatu horizon alam bawah sadar yang tak kasat mata? Untuk apa? Untuk apa kita bermimpi? Kalau ternyata, seseorang yang seringkali kita jumpai dalam mimpi, kenyataannya harus pergi sampai-sampai dia tak bisa lagi kembali?
Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi kepergian Pram yang secara tiba-tiba. Mengutuk diriku yang tidak peka atas apa yang terlintas dalam mimpiku. Mimpi yang berulang kali sama. Mimpi tentang Pram. Tentang jurang. Tentang kematiannya.  Ah.
 
Semilir angin sayup-sayup membawa aroma Krisan menelusup rongga hidungku. Aroma tubuh Pram. Dia masih di sini, kurasa.
  
***



0 komentar:

Posting Komentar

 

Chocodit Escape Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos